Friday, November 14, 2014

Cerita Cinta dari Sana


November, 2014

Ketika ingin menuliskan kembali cerita ini, aku jadi ingat sebuah kalimat yang aku atau teman sering ucapkan, saat itu...
“Love everywhere in Kongju” ....

Beberapa hari yang lalu, aku berchatting-ria seorang teman yang aku kenal saat di Korea. Kemudian, dia bercerita kepadaku tentang cinta bertepuk sebelah tangan-nya.
*yapp.. tema kali ini agak lain. Tentang cinta~ ahh.. semoga tidak tersampaikan alay.. Hha.. :D*

Aku menduga laki-laki yang dia sukai adalah orang yang aku kenal. Dan... aku masih tetap kaget setelah tahu siapa laki-laki itu. Tidak kusangka, laki-laki itu adalah orang itu!(nunjuk orang dengan ekspresi enggak percaya). Karena sedikit syok, aku malah seakan protes dengan temanku tadi. “Hei.. kenapa saat itu aku ga lihat?”, “Kenapa hanya diam?”
Lumayan greget, karena waktu itu kami sering bareng-bareng, tapi aku sama sekali ga ingat dia pernah ada usaha mendekat ke si laki-laki. Istilahnya ga ada kode.
Jawaban atas pertanyaan bernada protes tadi cukup singkat, tapi jelas... “karena aku perempuan”....

Duar... jedarrr... he’em.. bener juga sih.
Meskipun beda negara, tapi karena sama-sama dari dunia timur, wajarlah kalo kami mirip dalam masalah yang ujung-ujungnya, “karena aku perempuan”

Duarr.. jedarrr..
Ada lagi hal yang aku ingat. Yang cukup membuatku tertawa, menertawakan diri sendiri.
Kisah temanku itu agak-agak mirip kok sama punyaku, bedanya, alasan yang aku punya (kayaknya) lebih kompleks. Bukan hanya karena aku perempuan.
Aku juga mempertimbangkan rencana jangka panjang. Beda bahasa atau budaya itu masih bisa aku atasi, aku rasa :D. Tapi lain lagi kalau soal iman. *meski aku bukan orang yang religius* Yeahhh... aku butuh imam!
Dulu saat meyakini dan memutuskan untuk tidak berharap, pada diri sendiri aku berkata, “iya... ga apa-apa. Enggak apa-apa banget kok kamu sedih sekarang. Nanti sedihnya juga bakal pudar”

Semoga saja temanku tadi juga tidak terlalu lama terjebak dalam kubang cinta tidak berbalas.
Yang pasti, meski sudah tidak di Kongju, tapi kami membawa cerita cinta masing-masing. Dampak virus ‘Love everywhere in Kongju’.. :D :D

uneespuzzles

Tuesday, June 10, 2014

Kenangan Terpanggil

Di sosial media, sampai saat ini aku lebih sering posting tentang hal yang berkaitan dengan kehidupanku selama 10 bulan di Korea. Dibandingkan dengan kehidupanku di sekitar jogja-klaten, 10 bulan di kongju sama sekali bukan apa-apa. Tapi sepanjang 21 tahun kehidupanku, bagiku berkesempatan menginjak bumi joseon adalah momentum.
Merasakan 10 bulan di korea, aku merasa lebih banyak belajar. Belajar lebih memahami diriku, mendengarkan serta mengamati orang lain, menyerapi nuansa alam sekitar, aku belajar tentang hidup. Pertemanan adalah hal terbaik yang aku dapat dari sana. Sebuah hadiah indah dari Tuhan, kasih dari teman-teman baik.
Hari ini, 6 juni 2014, kenangan tentang Korea kembali terpanggil.
Mak cik Hidayah Yusuf posting sebuah gambar di instagram, deskripsi gambar itu sangat panjang.
Di tengah malam, aku sukses dibuatnya terkekeh sendiri karena pengalaman yang kembali ia panggil.
Apakah sebelum atau setelah  ke/dari korea semua pengalamanku tidak penting? Tidak berharga? Tidak perlu diingat? SALAH BESAR!! Setiap pengalaman manusia berharga.
Kembali lagi aku ungkit kata ‘momentum’. Pergi ke Korea saat itu adalah sebuah pelarian yang sukses! Aku sukses menghalau galau. Galau karena tekanan beberapa masalah pribadi yang merembet ke masalah sosial. Kacau sekali keadaanku saat itu. Semester 3, sebelum aku pergi ke Korea BB-ku terus turun. Akibat dari kurangnya rasa bahagia yang mampu aku dapatkan. Bayangkan saat itu aku 47 kg! (Ya walaupun segi positifnya, baju-baju lama kembali bisa dipakai, tapi… sudah dapat terbaca di wajahku saat itu, “Aku sedang tidak bahagia”.) Agak berlebihan memang penggambarannya, tapi itu yang banyak aku rasakan saat usiaku kira-kira 19 tahun menuju 20 tahun.

Berada di Korea adalah momentum. Aku menemukan jiwaku hidup bebas. Aku bahagia! Seluruh yang ada di sekitarku , semuanya patut, wajib dan pantas aku syukuri. Dan aku bertekad membawa jiwa bebasku itu ke kampung halaman, Indonesia tercinta.

Sunday, May 25, 2014

Angka 7 dan Mbak Sri

Hello World!
Setelah mati suri, akhirnya aku kembali lagi menyusun potongan-potongan puzzle hidupku melalui bog ini. ^^/
Mulai sekarang aku menulis bukan dari Kongju, Korea Selatan lagi. Aku sudah kembali!! Aku di Indonesia. Yeeee…. sedih iya, bahagia juga iya. Sedih dan bahagia memang jodoh.
Ini adalah ceritaku sesaat kepulanganku di Indonesia. Ada banyak masalah, tentu saja. Nah, salah satu masalah itu akan aku ungkap di sini. Sangat rumit, berbelit-belit (ini komentar), dan melibatkan banyak pihak serta emosi. Akhirnya aku sederhanakan saja. *Kerena selain aku, mungkin saja (sangat) tidak ada yang mau membacanya (tiba-tiba sedih berlipat).
Angka 7,
Ada apa? Bukankah aku sangat (sangat dan sangat) menyukai angka 7? Ya, aku yang biasanya menyukai angka 7, ternyata ada masa ketika aku menjadi sangat membencinya. Ini tentang GPA alias IP-ku. Sebelum dan sesudah di Korea. Aku cukup beruntung menjadi yang dipilih jurusan untuk berangkat ke Korea dengan pertimbangan IP. Di Korea, meskipun aku “agak-agak” saja mengerti materi kuliahnya (Ya Allah, jika mengingat masa berat itu, sungguh….. ahhh T.T), tapi aku beruntung, berhasil menyiasati nilai. Tidak ada nilai jeblok di Kongju. (Ahay.. tiba-tiba ingat professor kuliah Pengantar Sastra Korea yang memberiku nilai A+, Masyaallah, terima kasih, Bapak! Aku padamu!hihihi).
Sampai di Indonesia??
Huft.. hemmm…. Arghhhhhhh…
Tidak akan aku ceritakan detailnya, dengan pertimbangan “kasus” ini melibatkan orang banyak, menggegerkan jagad jurusan. Jreng… jreng… IP-ku di UGM untuk semester 4 keluar!!
Luweh.. Mati rasa… lelah… blank (apa sih ya?!), IP-ku turun 0,7!!! Dari semester ke semester aku berharap dan berusaha IP-ku naik, ya walaupun hasilnya rata-rata kenaikannya <0 0="" aku="" berhasil.="" kini="">
*Ya sudahlah.
Mbak Sri,
Dia adalah seorang teman. Sesama dan seangkatan jurusan Bahasa Korea. Nama kami pun sama. *eh.
Suatu hari dia bertanya tentang nilaiku. Aku katakana padanya nilaiku turun 0,7 menjadi *** (tidak akan kusebutkan pastinya! Cari aja di evaluasi penerima Bidik Misi, ada mungkin).  Aku katakana tentang itu padanya masih dengan nada ceria dan senyuman, lalu aku melihat ekspresi wajahnya. *mbeeeekkk
“Heol! Beneran itu, Un??”
“Iya… kenapa? Jelek banget ya?”, ekspresiku mendadak suram.
Ya Tuhan~ Aku hampir menangis saat itu.
Dan sekarang, aku banyak mengambil kuliah di Sastra Indonesia. Alasan utamanya karena separo “desakan keadaan” dan separo lagi “eksplorasi”. Hmm… ini nih, aku jadi mengerti arti “kandang-tandang” bagi tim sepakbola. Di Sastra Indonesia, yang bukan kandangku, aku menjadi ragu dengan diriku. Aku ini mampu ga sih?! Pontang panting aku. T.T. Tapi ada hal besar yang aku dapatkan dari sana. Belajar!! Banyak sekali yang belum aku ketahui, dan aku sekarang ingin mengetahuinya.
Ahh.. semester ini, akan bagaimana kau akhirnya? Berbaik hatilah padaku, kumohon!