Friday, November 14, 2014
Tuesday, June 10, 2014
Kenangan Terpanggil
Di sosial media, sampai saat ini aku lebih sering
posting tentang hal yang berkaitan dengan kehidupanku selama 10 bulan di Korea.
Dibandingkan dengan kehidupanku di sekitar jogja-klaten, 10 bulan di kongju
sama sekali bukan apa-apa. Tapi sepanjang 21 tahun kehidupanku, bagiku
berkesempatan menginjak bumi joseon adalah momentum.
Merasakan 10 bulan di korea, aku merasa lebih banyak
belajar. Belajar lebih memahami diriku, mendengarkan serta mengamati orang
lain, menyerapi nuansa alam sekitar, aku belajar tentang hidup. Pertemanan
adalah hal terbaik yang aku dapat dari sana. Sebuah hadiah indah dari Tuhan, kasih
dari teman-teman baik.
Hari ini, 6 juni 2014, kenangan tentang Korea
kembali terpanggil.
Mak cik Hidayah Yusuf posting sebuah gambar di
instagram, deskripsi gambar itu sangat panjang.
Di tengah malam, aku sukses dibuatnya terkekeh
sendiri karena pengalaman yang kembali ia panggil.
Apakah sebelum atau setelah ke/dari korea semua pengalamanku tidak
penting? Tidak berharga? Tidak perlu diingat? SALAH BESAR!! Setiap pengalaman
manusia berharga.
Kembali lagi aku ungkit kata ‘momentum’. Pergi ke
Korea saat itu adalah sebuah pelarian yang sukses! Aku sukses menghalau galau.
Galau karena tekanan beberapa masalah pribadi yang merembet ke masalah sosial.
Kacau sekali keadaanku saat itu. Semester 3, sebelum aku pergi ke Korea BB-ku
terus turun. Akibat dari kurangnya rasa bahagia yang mampu aku dapatkan.
Bayangkan saat itu aku 47 kg! (Ya walaupun segi positifnya, baju-baju lama
kembali bisa dipakai, tapi… sudah dapat terbaca di wajahku saat itu, “Aku
sedang tidak bahagia”.) Agak berlebihan memang penggambarannya, tapi itu yang
banyak aku rasakan saat usiaku kira-kira 19 tahun menuju 20 tahun.
Berada di Korea adalah momentum. Aku menemukan
jiwaku hidup bebas. Aku bahagia! Seluruh yang ada di sekitarku , semuanya
patut, wajib dan pantas aku syukuri. Dan aku bertekad membawa jiwa bebasku itu
ke kampung halaman, Indonesia tercinta.
Sunday, May 25, 2014
Angka 7 dan Mbak Sri
Hello
World!
Setelah
mati suri, akhirnya aku kembali lagi menyusun potongan-potongan puzzle hidupku
melalui bog ini. ^^/
Mulai
sekarang aku menulis bukan dari Kongju, Korea Selatan lagi. Aku sudah kembali!!
Aku di Indonesia. Yeeee…. sedih iya, bahagia juga iya. Sedih dan bahagia memang
jodoh.
Ini
adalah ceritaku sesaat kepulanganku di Indonesia. Ada banyak masalah, tentu
saja. Nah, salah satu masalah itu akan aku ungkap di sini. Sangat rumit,
berbelit-belit (ini komentar), dan melibatkan banyak pihak serta emosi.
Akhirnya aku sederhanakan saja. *Kerena selain aku, mungkin saja (sangat) tidak
ada yang mau membacanya (tiba-tiba sedih berlipat).
Angka
7,
Ada
apa? Bukankah aku sangat (sangat dan sangat) menyukai angka 7? Ya, aku yang
biasanya menyukai angka 7, ternyata ada masa ketika aku menjadi sangat
membencinya. Ini tentang GPA alias IP-ku. Sebelum dan sesudah di Korea. Aku
cukup beruntung menjadi yang dipilih jurusan untuk berangkat ke Korea dengan
pertimbangan IP. Di Korea, meskipun aku “agak-agak” saja mengerti materi
kuliahnya (Ya Allah, jika mengingat masa berat itu, sungguh….. ahhh T.T), tapi
aku beruntung, berhasil menyiasati nilai. Tidak ada nilai jeblok di Kongju.
(Ahay.. tiba-tiba ingat professor kuliah Pengantar Sastra Korea yang memberiku
nilai A+, Masyaallah, terima kasih, Bapak! Aku padamu!hihihi).
Sampai
di Indonesia??
Huft..
hemmm…. Arghhhhhhh…
Tidak
akan aku ceritakan detailnya, dengan pertimbangan “kasus” ini melibatkan orang
banyak, menggegerkan jagad jurusan. Jreng… jreng… IP-ku di UGM untuk semester 4
keluar!!
Luweh..
Mati rasa… lelah… blank (apa sih ya?!), IP-ku turun 0,7!!! Dari semester ke
semester aku berharap dan berusaha IP-ku naik, ya walaupun hasilnya rata-rata
kenaikannya <0 0="" aku="" berhasil.="" kini="">0>
*Ya
sudahlah.
Mbak
Sri,
Dia
adalah seorang teman. Sesama dan seangkatan jurusan Bahasa Korea. Nama kami pun
sama. *eh.
Suatu
hari dia bertanya tentang nilaiku. Aku katakana padanya nilaiku turun 0,7
menjadi *** (tidak akan kusebutkan pastinya! Cari aja di evaluasi penerima
Bidik Misi, ada mungkin). Aku katakana tentang
itu padanya masih dengan nada ceria dan senyuman, lalu aku melihat ekspresi
wajahnya. *mbeeeekkk
“Heol!
Beneran itu, Un??”
“Iya…
kenapa? Jelek banget ya?”, ekspresiku mendadak suram.
Ya
Tuhan~ Aku hampir menangis saat itu.
Dan
sekarang, aku banyak mengambil kuliah di Sastra Indonesia. Alasan utamanya
karena separo “desakan keadaan” dan separo lagi “eksplorasi”. Hmm… ini nih, aku
jadi mengerti arti “kandang-tandang” bagi tim sepakbola. Di Sastra Indonesia,
yang bukan kandangku, aku menjadi ragu dengan diriku. Aku ini mampu ga sih?!
Pontang panting aku. T.T. Tapi ada hal besar yang aku dapatkan dari sana.
Belajar!! Banyak sekali yang belum aku ketahui, dan aku sekarang ingin
mengetahuinya.
Ahh..
semester ini, akan bagaimana kau akhirnya? Berbaik hatilah padaku, kumohon!
Subscribe to:
Posts (Atom)