Di sosial media, sampai saat ini aku lebih sering
posting tentang hal yang berkaitan dengan kehidupanku selama 10 bulan di Korea.
Dibandingkan dengan kehidupanku di sekitar jogja-klaten, 10 bulan di kongju
sama sekali bukan apa-apa. Tapi sepanjang 21 tahun kehidupanku, bagiku
berkesempatan menginjak bumi joseon adalah momentum.
Merasakan 10 bulan di korea, aku merasa lebih banyak
belajar. Belajar lebih memahami diriku, mendengarkan serta mengamati orang
lain, menyerapi nuansa alam sekitar, aku belajar tentang hidup. Pertemanan
adalah hal terbaik yang aku dapat dari sana. Sebuah hadiah indah dari Tuhan, kasih
dari teman-teman baik.
Hari ini, 6 juni 2014, kenangan tentang Korea
kembali terpanggil.
Mak cik Hidayah Yusuf posting sebuah gambar di
instagram, deskripsi gambar itu sangat panjang.
Di tengah malam, aku sukses dibuatnya terkekeh
sendiri karena pengalaman yang kembali ia panggil.
Apakah sebelum atau setelah ke/dari korea semua pengalamanku tidak
penting? Tidak berharga? Tidak perlu diingat? SALAH BESAR!! Setiap pengalaman
manusia berharga.
Kembali lagi aku ungkit kata ‘momentum’. Pergi ke
Korea saat itu adalah sebuah pelarian yang sukses! Aku sukses menghalau galau.
Galau karena tekanan beberapa masalah pribadi yang merembet ke masalah sosial.
Kacau sekali keadaanku saat itu. Semester 3, sebelum aku pergi ke Korea BB-ku
terus turun. Akibat dari kurangnya rasa bahagia yang mampu aku dapatkan.
Bayangkan saat itu aku 47 kg! (Ya walaupun segi positifnya, baju-baju lama
kembali bisa dipakai, tapi… sudah dapat terbaca di wajahku saat itu, “Aku
sedang tidak bahagia”.) Agak berlebihan memang penggambarannya, tapi itu yang
banyak aku rasakan saat usiaku kira-kira 19 tahun menuju 20 tahun.
Berada di Korea adalah momentum. Aku menemukan
jiwaku hidup bebas. Aku bahagia! Seluruh yang ada di sekitarku , semuanya
patut, wajib dan pantas aku syukuri. Dan aku bertekad membawa jiwa bebasku itu
ke kampung halaman, Indonesia tercinta.