Musim gugur
telah tiba bahkan sudah ahampir berakhir. Langit yang indah, udara yang
menyejukkan, merah daun pohon maple mulai berguguran. Singkat saja, memang.
Suasana alam yang seperti ini seringkali dekat dengan tema ‘romansa’.
Satu dari empat
musim yang sangat tepat untuk melangsungkan ikrar setia dalam janji suci sebuah
pernikahan.
Pada semester
ini penulis mengambil sebuah mata kuliah bernama 함께하는
다문화 [ham-kke-ha-neun
da-mun-hwa] yang jika diartikan dalam bahasa kurang lebih menjadi ‘berbagi
tentang multikulturalisme kepada semua orang’. Layaknya mahasiswa pada umumnya penulis sering merasa bosan karena
kuliah yang ‘kadang kurang menarik’ (subyektif :D).
Akan tetapi, sejak
lebih kurang 1 bulan belakangan materi kuliah tersebut menyajikan tentang
Pernikahan Beda Kewarganegaraan (국제 결혼/ guk-jae gyeor-hon) di
Korea. Sekali dalam seminggu, selama empat minggu mengikuti kelas dengan tema
tersebut di atas.
Materi dimulai
dengan pengantar oleh Kim Kyung Sook Gyosunim
(nama pengampu kuliah ini) tentang sedikitnya orang di Korea selatan yang
cenderung tidak menganggap penting sebuah pernikahan dalam hidup, utamanya bagi
wanita.
Mungkin sebagian
dari pembaca sudah mengetahui tentang ‘semakin banyaknya wanita asing yang
menikah dengan laki-laki Korea’. Tahukah bahwa hal tersebut memang ditumbuh
kembangkan dengan kesengajaan bahkan diiklankan (atau dikampanyekan)?
Mendatangkan wanita dari luar Korea untuk dinikahkan memang lumayan popular.
Banyak dari mereka berasal dari China, Vietnam, Filipina, Kamboja, Laos serta
sedikit dari Indonesia, Uzbekhistan, Kazakhstan dll. Bersama dengan mahasiswa
lain yang sebagian besar merupakan mahasiswa asing, kami menonton sebuah acara dokumentasi kehidupan
seorang laki-laki Korea yang menikah dengan wanita Vietnam. Laki-laki tersebut
bertemu dengan istrinya melalui jasa ‘cari jodoh’. Ya, ada agen jodoh untuk
pernikahan beda kewarganegaraan ini.
Adalah mereka
yang biasanya tinggal di
pedesaan dan lumayan cukup berumur/sudah berumur-lah mendaftarkan dirinya ke
agen jodoh seperti itu. Secara kasarnya, mereka merasa perlu/harus menikah,
tetapi tidak ada wanita Korea yang mau dinikahinya. Perlu ditegaskan bahwa hal
yang ditulis di atas merupakan ‘hal biasanya’, bukan merupakan ‘hal mutlak
keseluruhan’.
Dalam film
documenter tersebut penulis mendapat gambaran nyata kesulitan yang terjadi
dalam sebuah pernikahan beda kewarganegaran. Mulai dari perbedaan budaya dan
yang paling utama adalah bahasa. Betapapun komunikasi adalah unsur terpenting
dalam menjalin hubungan, bukan?
Pada minggu berikutnya, kuliah tidak melulu membahas
tentang pernikahan beda kewarganegaraan di Korea Selata. Hal yang lebih banyak
dibahas adalah kewarganegaraan di Korea Selatan dan negara lain di dunia, serta
penerimaan orang asing di Korea Selatan.
Berbeda dengan Indonesia yang terlahir sebagai
negara dengan kekayaan dan keberagaman budaya-nya, Korea merupakan negara
dengan budaya yang hamper sama di seluruh wilayahnya. Mereka cenderung sulit
untuk menerima orang/warga asing beserta budaya yang dibawanya di Korea
(kecuali untuk negara Amerika Serikat).
Minggu selanjutnya kuliah menjadi lebih berbeda
lagi. Kembali ke materi awal tentang pernikahan beda negara di Korea Selatan.
Seperti yang telah dijanjikan oleh profesor kuliah ini, pemateri pada kuliah
pada kesempatan kali ini adalah seorang guru taman kanak-kanak (TK). Dalam
presentasi beliau dijelaskan bahwa anak-anak yang terlahir dari kelurga
multikultural (pernikahan beda kewarganegaraan tersebut) di Korea, cenderung
bermasalah di sekolah. Bermasalah yang dimaksud adalah dalam bidang akademik
mereka cenderung tertinggal dibandingkan dengan anak Korea asli. Alasannya
adalah perbendaharaan kosa kata yang lebih terbatas dibandingkan anak Korea
asli. Masih ingat dengan kata kunci: ‘mendatangkan wanita dari luar Korea’ dan
‘keterbatasan bahasa’, kan? Nah, pada hal tersebutlah letak alasannya.
Tidak hanya itu, rasisme masih menjadi masalah cukup
serius di sini. Anak dari keluarga multikultural sering mendapat perlakuan yang
dibedakan. Seringkali dianggap lebih rendah daripada mereka orang Korea asli.
Pada akhirnya, faktor-faktor tersebut di atas menyebabkan angka putus sekolah
anak-anak multikultural lumayan banyak. Mereka biasanya memutuskan berhenti sekolah
saat bangku sekolah menengah pertama (SMP).
Pada minggu keempat, sebuah kejutan untuk kami saat
tiga orang wanita, ibu-ibu lebih tepatnya, berada di ruang kuliah sebelum kami.
Mereka adalah imigran di Korea Selatan yang menikah dengan laki-laki Korea. Masing-masing
berasal dari China, Uzbekhistan dan Kazakhstan. Mereka memberikan presentasi
pengalaman pribadi tentang pernikahan multikultural yang dijalani. Istimewanya
lagi, dua dari tiga pemateri bekerja di pusat multikulturalisme (다문화
센터).
Banyak wawasan dan pengetahuan yang menarik dibagi kepada kami waktu itu.
Yang cukup membuat penulis terkejut adalah selain
cerita unik dan indah yang menarik untuk didengarkan, seorang pemateri dari
China secara frontal menyampaikan keluhan beliau tentang Korea Selatan dan orangnya.
Secara garis besar (lagi), warga asing (selain yang berasal dari AS dan eropa) masih
kurang diterima baik di Korea Selatan ini. Akan tetapi, saat ini Korea Selatan
sedang dalam proses giat menggalakkan pendidikan multikulturalisme bagi warganya.
Hal tersebut menjadi penting karena semakin banyaknya warga asing yang
bermigrasi ke Korea Selatan. Demi terwujudnya keharmonisan bersama warga Korea
harus mau membuka diri terhadap budaya lain selain budaya mereka sendiri.
*Semua sumber tulisan berasal dari materi kuliah 함께하는
다문화 [ham-kke-ha-neun
da-mun-hwa] yang diikuti penulis.
_Tulisan untuk Mading "Harading" Bahasa Korea FIB UGM_
12
November 2013
Kongju-si
menarik...
ReplyDeleteapakah warga negara asing dr asia yg bekerja di korsel jg mendapatkan diskriminasi sosial?
Mariska, maaf lama sekali ya balasnya... hehe
Deletekalau tentang itu aku kurang tahu. Karena setahuku memang para pekerja (khususnya yang non profesional) jarang melakukan interaksi sosial dg warga korea pd umumnya. ^^.. tp kalau pandangan mereka agak "merendahkan", sih iya~ kata dosenku, kalau kita telusur di naver, bnyak sekali netizen yang ga suka ada bnyak pekerja asing di negaranya.
dikatakan "Mereka cenderung sulit untuk menerima orang/warga asing beserta budaya yang dibawanya di Korea (kecuali untuk negara Amerika Serikat)" & "Secara garis besar (lagi), warga asing (selain yang berasal dari AS dan eropa) masih kurang diterima baik di Korea Selatan ini" apa ada alasan mengapa warga korea selatan sulit menerima warga asing yg bukan dr AS maupun Eropa?
ReplyDeletedilihat dri segi sejarah, mereka mengagungkan AS karena AS-lah yang membantu mereka memperbaiki ekonomi pasca perang.
Deletesedangkan warga asia lain, ada beberapa faktor, tapi menurut saya, faktor paling mendasar adalah korea adalah negara homogen, sangat berbeda denngan indonesia yg multikultural. Di dukung oleh pengetahuan ttg negara lain yang kurang. Bahkan ada suatu kejadian, seorang mahasiswa (teman dari teman), di mata mahasiswa itu Indonesia adl negara yg sgt tertinggal (gambaran orang2 papua di pedalaman), yang mengenal baju setelah mereka keluar dr negaranya! Juga faktor bnyaknya tenaga kerja disana yg bekerja di sektor non profesional.