Wednesday, October 21, 2015

Bukan sekedar Ritual ‘Makan’


21 Oktober 2015
Hari ini, panas.. tentu saja. Bukan itu yang mau aku ceritakan yaa..
Sejak pagi, tepatnya pukul 10.00 wib, (ah.. sudah engga bisa dibilang pagi, ya? Maaf. :D) aku sudah di kampus. Misi pertama, pinjam buku ke prodi. Tidak butuh waktu lama aku pinjam dua buah buku, pertama tentang ‘Sintaksis Korea’ (yepp.. mencoba serius dengan skripsi.. ;)), dan yang kedua adalah buku antologi puisi (*omaigat, Uni baca puisi? Iya, cuma baca, soalnya kalau baca novel pasti selesainya lama, padahal buku referensi skripsi banyak yang ngantri.. hiksee).
Misi pertama berhasil dilaksanakan, dengan meninggalkan KTP kepada mas sekretaris jurusan. *Untuk saat ini KTM lebih berharga daripada KTP, guys.
Misi kedua, ngadem di perpus dan kalau beruntung, bisa dapat kursi depan komputer. Errr.... tapi aku sedang tidak beruntung ternyata. Penuh! Kursi di lantai satu, juga depan komputer. Kalau ke lantai dua (?), ah.. jangan dulu, lagi penat.
Pindah ke perpus pusat, astaga banget..... PENUH, ah dasar mahasiswa UGM, rajin amat sih ke perpus??!
Lalu, berakhirlah dengan jalan menuju kos, setelah sebelumnya ke GMC, tapi karena ‘PENUH” agenda periksa gigi diundur.
Jalan~
Saat sedang jalan, sendiri biasanya pikiranku ke mana-mana (tapi engga sampai se-liar kalau lagi engga ngerjain apa-apa sih). Salah satunya hari ini, pikiranku menyoal tentang “makan bareng”.
*Aduh maaf ya, prolognya panjang banget. Hehe*
Satu hari, ada temen yang mengatakan kurang lebih begini,
Aduh maaf mba Uni kalau cuma makan doang menurutku esensinya kurang, padahal banyak prioritas lain yang menunggu”, (kalimatnya kurang-lebih ya... sebegitu yang aku tangkap pokoknya)
Satu kalimat, ujaran yang merupakan buah pikiran atau pendapat orang yang... emmm agaknya mengganggu pikiranku saat ini. Bukan aku jadi kesal dengan teman yang mengatakan demikian (karena aku kurang sependapat dengannya), tapi karena. “Kenapa dia berpikiran bahwa makan bersama tidak ada esensinya?”
Lalu, saat jalan~
Iya, jalan sendirian di cuaca Jogja yang menyengat.. ngat.. ngat...
“Oh.... sepertinya karena ini! Kenapa aku bisa lupa?!” (ngomong dewe, Alhamdulillah dalam hati),
Empat tahun lebih aku belajar bahasa dan budaya Korea, pun orang-orang di sekitarku sebagian besar juga ‘ke-korea-an’. Well, ritual makan –yang menjadi keharusan tiap makhluk hidup- sering jadi istimewa, dengan catatan, Tidak Makan Sendirian.
Sejak saat menjajal hidup setahun di Korea, makan dengan orang yang aku kenal menjadi sangat istimewa. Tentu saja saat bisa ngobrol, bertukar pikiran (satu dari sedikit pengalaman terkesan hadir di depan meja makan). Orang Korea punya karakter suka keburu-buru, pun saat makan. Jadi kalau ada orang Korea meluangkan banyak waktu untuk makan bersamamu, beruntunglah kamu! *Sederhananya, karena prioritas, bukan tidak adanya kesibukan.*
Secara garis besar, aku banyak membangun hubungan kedekatan dengan orang lain paling banyak melalui kegiatan ‘makan’. Contohnya, kak Putri yang sampai sekarang masih sering bertukar kabar denganku sebagai seorang teman sekaligus kakak, meskipun dia sudah menjadi istri dari dosenku sendiri. Atau, Arin, teman berbagi kisah hidup –yang sebagian dikisahkan di depan meja makan-. Lalu, Yaya, sahabat dari Malaysia yang menjadi patner makan saat di Korea. Dan masih ada yang lain juga yang tidak mungkin disebut satu-satu, ya. :) Tidak mungkin aku tidak dekat dengan orang sampai-sampai aku harus sering makan dengannya. :)
Jangan lupakan juga kakak tertuaku, mas Antok. Malahan dia-lah yang pertama-tama menekankan tentang pentingnya kegiatan ‘makan bersama’ (sejak sebelum aku menjadi mahasiswa). Tengoklah orang Eropa, mereka tidak punya ruang tamu, tapi punya ruang makan dengan meja yang besar, tempat para anggota keluarga mengitarinya, untuk makan bersama. Jangan lihat ‘makannya apa’, tapi apa yang terjadi di meja makan. Kebersamaan, kasih sayang, kehangatan keluarga.
Menurutku Jeong []’ (bahasa Korea) juga dibangun saat makan. Apa itu, ‘Jeong’?
Jeong adalah perassan kasih sayang (catat: bukan melulu cinta antara laki-perempuan) yang terbangun melalui proses saling mengerti, karena kebersamaan yang terjalin untuk waktu yang tidak sebentar.
Tidak apalah jika orang lain tak menganggapnya penting, toh ada prioritas di kepala masing-masing orang. Makan bersama memang bukan kegiatan esensi, kita masih tetap bisa hidup dengan makan sendirian, tapi tidak salah, kan jika ‘makan bersama’ aku nilai ISTIMEWA? :)
Aku berharap teman hidupku nanti adalah teman makan yang baik untukku. Semoga saja.


No comments:

Post a Comment

Name
comment