Wednesday, December 4, 2013

Sekilas tentang Pernikahan Beda Kewarganegaraan di Korea Selatan*

Musim gugur telah tiba bahkan sudah ahampir berakhir. Langit yang indah, udara yang menyejukkan, merah daun pohon maple mulai berguguran. Singkat saja, memang. Suasana alam yang seperti ini seringkali dekat dengan tema ‘romansa’.
Satu dari empat musim yang sangat tepat untuk melangsungkan ikrar setia dalam janji suci sebuah pernikahan.
Pada semester ini penulis mengambil sebuah mata kuliah bernama 함께하는 다문화 [ham-kke-ha-neun da-mun-hwa] yang jika diartikan dalam bahasa kurang lebih menjadi ‘berbagi tentang multikulturalisme kepada semua orang’. Layaknya mahasiswa pada  umumnya penulis sering merasa bosan karena kuliah yang ‘kadang kurang menarik’ (subyektif :D).
Akan tetapi, sejak lebih kurang 1 bulan belakangan materi kuliah tersebut menyajikan tentang Pernikahan Beda Kewarganegaraan (국제 결혼/ guk-jae gyeor-hon) di Korea. Sekali dalam seminggu, selama empat minggu mengikuti kelas dengan tema tersebut di atas.
Materi dimulai dengan pengantar oleh Kim Kyung Sook Gyosunim (nama pengampu kuliah ini) tentang sedikitnya orang di Korea selatan yang cenderung tidak menganggap penting sebuah pernikahan dalam hidup, utamanya bagi wanita.
Mungkin sebagian dari pembaca sudah mengetahui tentang ‘semakin banyaknya wanita asing yang menikah dengan laki-laki Korea’. Tahukah bahwa hal tersebut memang ditumbuh kembangkan dengan kesengajaan bahkan diiklankan (atau dikampanyekan)? Mendatangkan wanita dari luar Korea untuk dinikahkan memang lumayan popular. Banyak dari mereka berasal dari China, Vietnam, Filipina, Kamboja, Laos serta sedikit dari Indonesia, Uzbekhistan, Kazakhstan dll. Bersama dengan mahasiswa lain yang sebagian besar merupakan mahasiswa asing, kami  menonton sebuah acara dokumentasi kehidupan seorang laki-laki Korea yang menikah dengan wanita Vietnam. Laki-laki tersebut bertemu dengan istrinya melalui jasa ‘cari jodoh’. Ya, ada agen jodoh untuk pernikahan beda kewarganegaraan ini.
Adalah mereka yang biasanya tinggal di pedesaan dan lumayan cukup berumur/sudah berumur-lah mendaftarkan dirinya ke agen jodoh seperti itu. Secara kasarnya, mereka merasa perlu/harus menikah, tetapi tidak ada wanita Korea yang mau dinikahinya. Perlu ditegaskan bahwa hal yang ditulis di atas merupakan ‘hal biasanya’, bukan merupakan ‘hal mutlak keseluruhan’.
Dalam film documenter tersebut penulis mendapat gambaran nyata kesulitan yang terjadi dalam sebuah pernikahan beda kewarganegaran. Mulai dari perbedaan budaya dan yang paling utama adalah bahasa. Betapapun komunikasi adalah unsur terpenting dalam menjalin hubungan, bukan?
Pada minggu berikutnya, kuliah tidak melulu membahas tentang pernikahan beda kewarganegaraan di Korea Selata. Hal yang lebih banyak dibahas adalah kewarganegaraan di Korea Selatan dan negara lain di dunia, serta penerimaan orang asing di Korea Selatan.
Berbeda dengan Indonesia yang terlahir sebagai negara dengan kekayaan dan keberagaman budaya-nya, Korea merupakan negara dengan budaya yang hamper sama di seluruh wilayahnya. Mereka cenderung sulit untuk menerima orang/warga asing beserta budaya yang dibawanya di Korea (kecuali untuk negara Amerika Serikat).
Minggu selanjutnya kuliah menjadi lebih berbeda lagi. Kembali ke materi awal tentang pernikahan beda negara di Korea Selatan. Seperti yang telah dijanjikan oleh profesor kuliah ini, pemateri pada kuliah pada kesempatan kali ini adalah seorang guru taman kanak-kanak (TK). Dalam presentasi beliau dijelaskan bahwa anak-anak yang terlahir dari kelurga multikultural (pernikahan beda kewarganegaraan tersebut) di Korea, cenderung bermasalah di sekolah. Bermasalah yang dimaksud adalah dalam bidang akademik mereka cenderung tertinggal dibandingkan dengan anak Korea asli. Alasannya adalah perbendaharaan kosa kata yang lebih terbatas dibandingkan anak Korea asli. Masih ingat dengan kata kunci: ‘mendatangkan wanita dari luar Korea’ dan ‘keterbatasan bahasa’, kan? Nah, pada hal tersebutlah letak alasannya.
Tidak hanya itu, rasisme masih menjadi masalah cukup serius di sini. Anak dari keluarga multikultural sering mendapat perlakuan yang dibedakan. Seringkali dianggap lebih rendah daripada mereka orang Korea asli. Pada akhirnya, faktor-faktor tersebut di atas menyebabkan angka putus sekolah anak-anak multikultural lumayan banyak. Mereka biasanya memutuskan berhenti sekolah saat bangku sekolah menengah pertama (SMP).
Pada minggu keempat, sebuah kejutan untuk kami saat tiga orang wanita, ibu-ibu lebih tepatnya, berada di ruang kuliah sebelum kami. Mereka adalah imigran di Korea Selatan yang menikah dengan laki-laki Korea. Masing-masing berasal dari China, Uzbekhistan dan Kazakhstan. Mereka memberikan presentasi pengalaman pribadi tentang pernikahan multikultural yang dijalani. Istimewanya lagi, dua dari tiga pemateri bekerja di pusat multikulturalisme (다문화 센터). Banyak wawasan dan pengetahuan yang menarik dibagi kepada kami waktu itu.
Yang cukup membuat penulis terkejut adalah selain cerita unik dan indah yang menarik untuk didengarkan, seorang pemateri dari China secara frontal menyampaikan keluhan beliau tentang Korea Selatan dan orangnya. Secara garis besar (lagi), warga asing (selain yang berasal dari AS dan eropa) masih kurang diterima baik di Korea Selatan ini. Akan tetapi, saat ini Korea Selatan sedang dalam proses giat menggalakkan pendidikan multikulturalisme bagi warganya. Hal tersebut menjadi penting karena semakin banyaknya warga asing yang bermigrasi ke Korea Selatan. Demi terwujudnya keharmonisan bersama warga Korea harus mau membuka diri terhadap budaya lain selain budaya mereka sendiri.

*Semua sumber tulisan berasal dari materi kuliah 함께하는 다문화 [ham-kke-ha-neun da-mun-hwa] yang diikuti penulis.
_Tulisan untuk Mading "Harading" Bahasa Korea FIB UGM_
12 November 2013
Kongju-si



4 comments:

  1. menarik...
    apakah warga negara asing dr asia yg bekerja di korsel jg mendapatkan diskriminasi sosial?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mariska, maaf lama sekali ya balasnya... hehe
      kalau tentang itu aku kurang tahu. Karena setahuku memang para pekerja (khususnya yang non profesional) jarang melakukan interaksi sosial dg warga korea pd umumnya. ^^.. tp kalau pandangan mereka agak "merendahkan", sih iya~ kata dosenku, kalau kita telusur di naver, bnyak sekali netizen yang ga suka ada bnyak pekerja asing di negaranya.

      Delete
  2. dikatakan "Mereka cenderung sulit untuk menerima orang/warga asing beserta budaya yang dibawanya di Korea (kecuali untuk negara Amerika Serikat)" & "Secara garis besar (lagi), warga asing (selain yang berasal dari AS dan eropa) masih kurang diterima baik di Korea Selatan ini" apa ada alasan mengapa warga korea selatan sulit menerima warga asing yg bukan dr AS maupun Eropa?

    ReplyDelete
    Replies
    1. dilihat dri segi sejarah, mereka mengagungkan AS karena AS-lah yang membantu mereka memperbaiki ekonomi pasca perang.
      sedangkan warga asia lain, ada beberapa faktor, tapi menurut saya, faktor paling mendasar adalah korea adalah negara homogen, sangat berbeda denngan indonesia yg multikultural. Di dukung oleh pengetahuan ttg negara lain yang kurang. Bahkan ada suatu kejadian, seorang mahasiswa (teman dari teman), di mata mahasiswa itu Indonesia adl negara yg sgt tertinggal (gambaran orang2 papua di pedalaman), yang mengenal baju setelah mereka keluar dr negaranya! Juga faktor bnyaknya tenaga kerja disana yg bekerja di sektor non profesional.

      Delete

Name
comment